Ticker

6/recent/ticker-posts

Anang Iskandar: Penyalah Guna Narkoba Untuk Diri Sendiri, Seharusnya Hukuman Rehabilitasi


JAKARTA - Berdasarkan Undang-Undang (UU) Narkotika, penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa yang dinyatakan terbukti secara sah sebagai penyalah guna narkoba untuk diri sendiri, seharusnya berupa hukuman rehabilitasi. Namun, praktiknya tidak demikian. Data dari direktori putusan Mahkamah Agung menunjukkan, ada ribuan terdakwa perkara penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri. Mereka dituntut secara kumulatif atau subsidiaritas dengan pengedar sehingga dijatuhi hukuman penjara.
Model penegakan hukum dan penjatuhan sanksi penjara bagi penyalah guna untuk diri sendiri perlu diluruskan. Sebab, melenceng dari maksud dan tujuan dibuatnya undang undang narkotika yang saat ini berlaku.
Malapraktik penjatuhan sanksi oleh hakim terhadap perkara penyalah guna untuk diri sendiri atau perkara pecandu dengan sanksi hukuman penjara, menyebabkan masyarakat ‘dirugikan’. Baik secara material maupun spiritual. Juga, menjadi kendala untuk mendapatkan layanan penyembuhan melalui rehabilitasi.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, penyalah guna untuk diri sendiri apalagi pecandu berhak sembuh dan wajib menjalani rehabilitasi melalui penjatuhan sanksi rehabilitasi. Hakim sendiri diwajibkan dan diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi rehabilitasi serta mengambil tindakan agar penyalah guna untuk diri sendiri menjalani rehabilitasi.
UU Narkotika kita membedakan bagaimana "cara menangani" penyalah guna atau pecandu dengan pengedar. Kalau penyalah guna atau pecandu dilakukan dengan cara dicegah, dilindungi, dan diselamatkan serta dijamin direhabilitasi. Kalau pengedar dilakukan dengan cara diberantas sampai ke akar-akarnya (baca pasal tujuan/pasal 4 UU 35/2009). Artinya, meskipun sama-sama kriminalnya, tapi bertentangan dengan hukum kalau disidik dan dituntut dengan sistem kumulatif atau subsidiaritas.
Unsur tindak pidana penyalah guna untuk diri sendiri dan pengedar secara umum hampir sama, namun sejatinya berbeda. Perbedaannya terletak pada "tujuan kepemilikan" narkotikanya. Apabila kepemilikan narkotikanya dengan maksud dikonsumsi sendiri, berarti masuk kategori penyalah guna untuk diri sendiri. Apabila tujuannya dijual untuk mendapatkan keuntungan maka termasuk kategori pengedar. Di poin ini kan yang tidak pernah muncul, baik pada penyidikan, penuntutan, maupun peradilan?
Perbedaan penyalah guna atau pecandu dengan pengedar ini diperjelas berdasarkan   gramasi yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 tahun 2010 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan, Penyalah Guna dan Pecandu ke Dalam Lembaga Rehabilitasi. Bila jumlah barang buktinya secara gramasi sedikit –misalnya terdakwa yang ketika ditangkap kedapatan membawa memiliki barang bukti sabu kurang dari 1 gram, digunakan  untuk diri sendiri, tidak untuk dijual—maka tergolong penyalah guna untuk diri sendiri (pasal 127). Kalau penyalah guna ini diassesment/dimintakan visum maka penyalah guna tersebut akan menjadi/dinyatakan oleh dokter sebagai pecandu (pasal 54)
Sehingga indikator yang membedakan penyalah guna dengan pengedar ditentukan oleh jumlah barang bukti ketika ditangkap. Kalau kedapatan barang bukti yang disita kurang dari 1 gram sabu menunjukan bahwa tersangka adalah penyalah guna untuk diri sendiri (pasal 127). Kalau lebih dari 1 gram sampai dengan 5 gram sabu maka tergolong sebagai pengedar ( pasal 111, 112, 113, 114). Sedangkan bila lebih dari 5 gram sabu tergolong pengedar dengan pemberatan yang bisa dijatuhi sanksi pidana mati (pasal 111,112, 113 dan 114)
Kenapa penyalah guna untuk diri sendiri dilarang dan dikriminalkan oleh pembuat UU narkotika padahal tidak punya niat jahat (mens rea) dan tidak melakukan perbuatan jahat? Karena penyalah guna narkotika dapat menyebabkan sakit adiksi ketergantungan narkotika. Dilarang dan diancamnya penyalah guna dengan sanksi pidana, tujuannya untuk menakut-nakuti sekaligus untuk melindungi penyalah gunanya. Oleh karena itu kalau terjadi penyalahgunaan narkotika, justru dijamin dan diwajibkan UU menjalani rehabilitasi atau hukuman rehabilitasi agar sembuh supaya  berhenti jadi penyalah guna narkotika.
Itu sebabnya UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika kita tergolong undang-undang modern dan up to date mengikuti perkembangan zaman, meskipun ada kekurangannya sejak lahir. Masalahnya, dalam implementasi terjadi distorsi terhadap penanganan penyalah guna dan pecandu.
Yakni, mestinya diberikan upaya paksa berupa "penempatan ke lembaga rehabilitasi" (PP 25 tahun 2011) dan sanksi berupa hukuman rehabilitasi atau tindakan berupa perintah menjalani rehabilitasi (pasal 103). Namun, kenyataannya, penegak hukum menggunakan mekanisme pidana umum (di sini malapraktiknya) yang justru mengesampingkan UU Narkotika yang bersifat khusus. Harusnya lex specialis derogat lex generalis.
Akibat malapraktik ini, penyalah guna digolongkan seperti pidana biasa. Disidik dan dituntut dengan pasal subsidiaritas atau dikumulatifkan dengan pengedar. Sehingga, seolah-olah ada alasan ditahan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan serta dijatuhi sanksi pidana berupa hukuman penjara.
Kemodernan UU Narkotika bisa dilihat dalam batang tubuhnya. Di sana diatur balance aproach dengan double track sistem pemidanaan. Sistem ini tidak dikenal di Indonesia sebelumnya. Balance approach adalah model penanganan penyalahgunaan dan peredaran narkotika yang dilakukan secara seimbang. Yaitu, antara sistem pidana dengan sanksi rehabilitasi bagi penyalah guna atau pecandu dengan sistem pidana yang bermuara dengan sanksi penjara bagi pengedar.
Terhadap penyalah guna untuk diri sendiri, penanganannya bersifat rehabilitatif melalui wajib lapor agar sembuh. Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Kepala BNN bertanggung jawab terhadap misi penyembuhan melalui proses rehablitasi terhadap penyalah guna untuk diri sendiri yang secara suka rela ingin sembuh ini. Sedangkan Kepala BNN, Kepala Kepolisian, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung bertanggung jawab melaksanakan "penegakan hukum rehabilitatif" melalui proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan bersifat rehabilitatif (PP 25/2011) dan penjatuhan sanksi rehabilitasi (pasal 103 UU no 35/2009).
Terhadap pengedar, misi penegakan hukumnya dipertanggung jawabkan kepada Kepala BNN, Kepala Kepolisian, Jaksa Agung, dan Mahkamah Agung dengan pendekatan represif keras. Bahkan, terhadap pengedarnya diberikan sanksi minimum dan sanksi maksimum. Dimiskinkan dengan tindak pidana pencucian uang sehingga tidak berdaya ketika di penjara.
Premium remedium/prioritas penanganan kejahatan penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri "bukan" melalui penegakan hukum karena kejahatan penyalahgunaan narkotika  termasuk kriteria domistic crime. Sehingga, prioritas penanganannya berada pada peran keluarga atau orang tua untuk menangani kejahatan ini, dengan cara wajib lapor ke rumah sakit yang ditunjuk. Kalau orang tua "tidak" melaporkan anaknya ke rumah sakit yang ditunjuk untuk "disembuhkan" maka orang tua diancam dengan hukuman kurungan selama 3 bulan (pasal 55). Pada titik ini perlu dukungan penegakan hukum yang bersifat rehabilitatif.
Kejahatan penyalahgunaan narkotika juga termasuk kejahatan bersyarat (kalau menggunakan narkotika atas petunjuk dokter tidak tergolong kejahatan). Sehingga, pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika ini tidak punya niat jahat dan tidak melakukan perbuatan jahat atau  melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Melainkan, mereka menyakiti dirinya sendiri dengan menggunakan narkotika.
Maka, penanganannya berdasarkan UU diprioritaskan dengan pendekatan kesehatan/rehabilitatif dengan upaya paksa berupa penempatan di lembaga rehabilitasi milik pemerintah atau swasta atas izin Menteri Kesehatan. Serta, sanksi pidana berupa hukuman rehabilitasi dan ditempatkan di lembaga rehabilitasi.
Ketentuan tersebut di atas selaras dengan tujuan dari pembuat undang-undang. Hal itu dinyatakan secara eksplisit dalam UU 35/2009 tentang Narkotika yang sangat berbeda dengan undang-undang yang lain. Pertama, narkotika itu sebagai obat dijamin ketersediaannya di Indonesia, serta boleh beredar secara legal untuk kepentingan kesehatan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Kedua, terhadap peredaran gelap, pengedarnya  harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Artinya, tidak hanya dihukum berat secara pidana, tapi juga harus dituntut dengan pidana pencucian uang dengan predikat crime sebagai pengedar narkotika dan diputus jaringan bisnis narkotikanya.
Ketiga, terhadap penyalah guna dan pecandu, dicegah (dengan maksud agar tidak menjadi korban penyalah gunaan narkotika), dilindungi, diselamatkan dan dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Kalau kita cermati terhadap ketiga maksud dan tujuan pembuat UU narkotika tersebut di atas, jelas bahwa misi utama penegak hukum adalah memberantas para pengedar, mulai dari penjual kelas pengecer, pengedar, bandar, hingga produsen.
Sedangkan misi penegak hukum terhadap penyalah guna/pecandu sebagai pelaku kejahatan sekaligus korban kejahatan peredaran gelap adalah mencegah, melindungi, menyelamatkan, dan menjamin mereka mendapatkan upaya hukum berupa rehabilitasi dalam proses penegakan hukumnya.
Meskipun penyalah guna dan pengedar sama sama kriminalnya, tetapi misi penegakan hukumnya berbeda. Misi penegakan hukum terhadap penyalah guna dan pecandu bersifat rehabilitatif dan humanis sedangkan terhadap pengedar bersifat represif dan keras.
Saat ini, praktik penjatuhan sanksi di luar misi ini semakin gencar dilakukan oleh hakim yang mengadili perkara penyalah guna. Berdasarkan data Ditjen Lapas, sekarang ini ada sekitar 40 ribu penyalah guna yang mendekam dalam lapas tanpa penyembuhan sakit adiksi ketergantungan narkotika. Jumlah ini berarti naik 100 persen dibanding data 2014 yang sekitar 20 ribu.

Kalau penjatuhan sanksi ini diteruskan, akan memperburuk kondisi lapas sekaligus memperburuk darurat narkotika kita. Oleh karena itu, hakim perlu mempelajari secara khusus hukum narkotika dan kemanfaatan hukuman rehabilitasi agar tidak terjadi salah kaprah yang akibatnya jelas merugikan penyalah guna untuk diri sendiri, pecandu,  masyarakat, bangsa dan negara serta menghambur-hamburkan sumberdaya penegakan hukum.


Penulis: Ka BNN 2012-2015, Kabareskrim 2015-2016, dan dosen Universitas Trisakti.